Dari Perbedaan ke Persatuan:

Membangun Moderasi dalam Kehidupan Sehari-hari


Ahmad Ahda Sabila, S.H.

Penyuluh Agama Islam


Setelah kita memahami bahwa para sahabat Nabi ﷺ bisa berbeda pendapat tanpa saling menyalahkan, kini saatnya kita belajar bagaimana semangat itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Islam mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan alasan untuk saling menjatuhkan. Yang penting adalah niat yang tulus, berpegang pada dalil, dan menghormati sesama muslim.

Perbedaan dalam memahami hukum agama bukanlah tanda perpecahan, tetapi bukti kekayaan khazanah Islam. Dari masa sahabat, perbedaan dalam memahami sabda Nabi ﷺ sudah terjadi, namun tidak membuat mereka bermusuhan. Moderasi beragama (al-wasaṭiyyah fī ad-dīn) hadir untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan kepada syariat dan keterbukaan terhadap perbedaan.

Firman Allah:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang pertengahan...” (QS. al-Baqarah [2]: 143)

Nilai-Nilai Moderasi dalam Fikih

Umat Islam berbeda dalam beberapa praktik ibadah, dan semuanya memiliki dasar syar‘i. Toleransi ini adalah wujud moderasi yang diwariskan sahabat.

Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia demi akhirat, tetapi menyeimbangkan keduanya.

Moderasi juga tercermin dari kepedulian terhadap sesama. Seorang muslim moderat bukan hanya taat beribadah, tetapi juga aktif membantu orang lain.

Teladan Sahabat dalam Menghadapi Perbedaan

Sahabat Nabi ﷺ mengajarkan bahwa adab lebih utama daripada kemenangan argumen. Ketika terjadi perbedaan penafsiran terhadap perintah salat di Bani Quraizhah, Rasulullah ﷺ  tidak menyalahkan salah satu pihak, karena keduanya berijtihad dengan niat yang tulus.

Setelah peristiwa Bani Quraizhah, para sahabat tetap bersatu di bawah kepemimpinan Rasulullah ﷺ meskipun memiliki pandangan fikih yang berbeda. Mereka menyadari bahwa tujuan bersama lebih penting daripada perbedaan penafsiran.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan perbedaan Berikut adalah beberapa contoh perbedaan yang sering kita temui, yang seharusnya disikapi dengan semangat toleransi ala sahabat Nabi:

Area Fikih

Perbedaan Pendapat (Mazhab)

Sikap Toleransi dan Moderasi

Bersentuhan dengan Lawan Jenis

Mazhab Syafi'i: Menyentuh kulit lawan jenis (yang bukan mahram) membatalkan wudu, meskipun tanpa syahwat.

Jika Anda meyakini Syafi'i, tidak perlu menyalahkan orang lain yang tidak berwudu lagi setelah bersentuhan karena mengikuti pendapat lain (misalnya Mazhab Hanafi/Maliki yang melihat ada tidaknya syahwat). Fokuslah pada sahnya ibadah diri sendiri.

Bacaan Salat (Doa Qunut)

Mazhab Syafi'i: Sunah membaca Qunut (doa setelah rukuk) saat salat Subuh. Mazhab Hanafi & Hambali: Tidak ada Qunut Subuh, bahkan sebagian menganggapnya tidak disyariatkan.

Jika Anda salat di masjid yang tidak pakai Qunut, ikuti imam. Jika Anda menjadi imam, perhatikan kebiasaan makmum. Tidak perlu ribut; salatnya tetap sah. Ini adalah perbedaan yang diakibatkan metode istinbat hukum yang berbeda.

Jumlah Rakaat Tarawih

Jumhur (Mayoritas) Ulama: 20 rakaat + 3 Witir. Sebagian Ulama: 8 rakaat + 3 Witir (berdasarkan hadis Aisyah tentang kebiasaan Nabi).

Keduanya memiliki dasar (dalil) yang kuat. Pilih salah satu sesuai keyakinan atau kebiasaan, dan hargai pilihan orang lain. Yang penting, salat Tarawihnya dilakukan.

Penentuan Awal Ramadan/Syawal (Sidang Isbat)

Metode Rukyat (Melihat hilal secara langsung). Metode Hisab (Perhitungan Astronomi).

Perbedaan ini adalah hasil ijtihad ulama tentang cara menentukan tanggal. Jika pemerintah telah menetapkan (melalui Sidang Isbat), sebaiknya diikuti demi kesatuan umat. Namun, saling menghormati ulama atau komunitas yang punya metode berbeda.


Hikmah dalam Menyikapi Perbedaan

Mari kita belajar jadi pribadi yang berhikmah. Caranya bagaimana?

Jangan buru-buru bilang “itu salah” sebelum tahu dasar hukumnya. Bisa jadi, dia punya guru atau dalil yang berbeda. Kalau belum tahu, cukup bilang: “InsyaAllah, saya pelajari dulu.” Itu lebih elegan.

Kadang kita terlalu semangat membela pendapat, tapi lupa menjaga adab.
Padahal, akhlak yang baik lebih berat timbangannya daripada debat yang menang.

Lebih penting menjaga salat, jujur dalam bekerja, dan tolong-menolong — daripada sibuk mempermasalahkan hal kecil seperti cara sedekap atau arah jari saat tasyahhud.

Sekarang banyak yang “berdakwah” di internet, tapi sayangnya kurang hikmah.
Jangan sampai niatnya dakwah malah jadi bahan perpecahan.
Gunakan kata yang menyejukkan. Sampaikan ilmu, bukan emosi.

Kita boleh beda dalam cara ibadah, tapi jangan beda dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Boleh beda pendapat, tapi jangan beda hati. Karena kalau hati sudah bersatu, perbedaan tidak akan memecah, tapi malah memperkaya.

Jadi mari belajar seperti para sahabat: